BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Kualitas
Definisi kualitas sangat beranekaragam dan mengandung banyak makna. Kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik. Goestech dan davis (1994) dalam fandy Tjiptono (1996:51) mendefinisikan “kualitas meruapkan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Menurut Buddy (1997) dalam Wahyuningsih (2002: 10), “kualitas sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen internal dan eksternal, secara eksplisit dan implisit”. Sedangkan definisi kualitas menurut Kotler (1997:49) adalah “seluruh ciri serta sifat suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuan untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau yang tersirat”. Ini jelas merupakan definisi kualitas yang berpusat pada konsumen, seorang produsen dapat memberikan kualitas bila produk atau pelayanan yang diberikan dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen.
Berdasarkan beberapa pengertian kualitas di atas dapat diartikan bahwa kualitas hidup kerja harus merupkan suatu pola piker (mindset), yang dapat menterjemahkan tuntutan dan kebutuhan pasar konsumen dalam suatu proses manajemen dan proses produksi barang atau jasa terus menerus tanpa hentnya sehingga memenuhi persepsi kualitas pasar konsumen tersebut. Perspektif kualitas yaitu pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan kualitas suatu produk/jasa. David dalam Fandy Tjiptono (1996:52), mengidentifikasikan adanya lima alternative perspektif kualitas yang biasa digunakan, yaitu :
1. Transcendental Approach Kualitas dalam pendekatan ini, dipandang sebagaiinnate excellence, dimana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalisasikan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam dunia seni, misalnya seni musik, seni drama, seni tari, dan seni rupa. Meskipun demikian suatu perusahaan dapat mempromosikan produknya melalui pernyataan-pernyataan maupun pesan-pesan komunikasi seperti tempat berbelanja yang menyenangkan (supermarket), elegen (mobil), kecantikan wajah (kosmetik), kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), dan lain-lain. Dengan demikian fungsi perencanaan, produksi, dan pelayanan suatu perusahaan sulit sekali menggunakan definisi seperti ini sebagai dasar manajemen kualitas.
2. Product-based Approach Pendekatan ini menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk. Karena pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan, dan preferensi individual.
3. User-based Approach Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang misalnya (perceived quality) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Perspektif yang subjektif dan demand-oriented ini juga menyatakan bahwa pelanggan yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dirasakannya.
4. Manufacturing-based Approach Perspektif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktik-praktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan (conformance to requirements). Dalam sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations-driven. Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secar internal, yang seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. Jadi yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan konsumen yang menggunakannya.
5. Value-based Approach Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai “affordable excellence”. Kualitas dalam perspektif ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli (best-buy).
2.2 konsep jasa
Jasa merupakan suatu kinerja penampilan, tidak berwujud dan cepat hilang. Lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, serta pelanggan lebih dapat berpatisipasi aktif dalam proses mengkomsumsi jasa tersebut. Definisi jasa dalam strategi pemasaran harus diamati dengan baik, karena pengertiannya sangat berbeda dengan produk berupa barang. Kondisi dan cepat lambatnya pertumbuhan jasa akan sangat tergantung pada penilaian pelanggan terhadap kinerja (penampilan)yang ditawarkan oleh pihak produsen (J. Supranto, 1997:227).
Kotler (1994)dalam Fandy Tjiptono (1996:6), ” Jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produksi jasa bisa berhubungan dengan produk fisik maupun tidak. Sedangkan menurut Fandy Tjiptono (1997:23), “jasa sebagai aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual”. Rambat Lupiyoadi (2001: 5) juga mendefinisikan jasa adalah semua aktivitas ekonomi yang hasilnya tidak merupkan produk dalam bentuk fisik atau konstruksi, yang biasanya dikomsumsi pada saat yang sama dengan waktu yang dihasilkan dan memberikan nilai tambah (seperti misalnya kenyamanan, hiburan kesenagan atau kesehatan) atau pemecahan akan masalah yang dihadapi konsumen.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat diartikan bahwa di dalam jasa selalu ada aspek interaksi antara pihak konsumen dan pemberi jasa, meskipun pihak-pihak yang terlibat tidak selalu menyadari. Jasa bukan merupakan barang tetapi suatu proses atau aktivitas yang tidak berwujud.
Menurut Kotler (1997) dalam Fandy Tjiptono (1996:15) karakteristik jasa dapat diuraikan sebagai berikut :
1. intangibility (tidak berwujud) Jasa berbeda dengan barang, jika barang merupakan suatu objek, alat, atau usaha maka jasa adalah suatu perbuatan, kinerja (performance) atau usaha. Bila barang dapat dimiliki, maka jasa hanya dapat dikonsumsi tetapi tidak dapat dimiliki. Jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, dicium, atau didengar sebelum dibeli
2. Inseparability ( tidak terpisahkan ) Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan jasa biasanya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikomsumsi secara bersamaan. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupkan ciri khusus dalam pemasaran jasa. Keduanya mempengaruhi hasil (outcome) dan jasa tersebut.
3. Variability (bervariasi)Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan nonstandardized output, artinya banyak variasi bentuk, kualitas, dan jenis, tergantung pada siapa,kapan, dan dimana jasa tersebut dihasilkan.
4. Perishability (mudah lenyap) Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan
2.3 Konsep Total Quality Service
Total Quality Service merupakan derivasi Total Quality Management dalam industri jasa yang mempunyai inti konsep bahwa dalam usaha meningkatkan kualitas jasa perusahaan harus melibatkan komitmen dan kesadaran seluruh level kerja dalam perusahaan yang mana usaha ini harus dilaksanakan terusmenerus sepanjang waktu sehingga akan didapatkan peningkatan penjualan serta pangsa pasar yang lebih luas. Fandy Tjiptono (1997:56) mendefinisikan TQS sebagai: Sistem manajemen strategi integratif yang melibatkan semua manajer, karyawan serta menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif untuk memperbaiki secara berkesinambungan proses-proses organisasi agar dapat memenuhi dan melebihi kebutuhan , keinginan dan harapan konsumen
Konsep TQS berfokus pada lima bidang yaitu:
1. Fokus pada pelanggan (customer focus). Identifikasi pelanggan (internal, eksternal dan atau perantara) merupakan prioritas utama bagi organisasi.
2. Keterlibatan total (total involvement). Manajemen harus memberikan peluang perbaikan kualitas bagi semua karyawan dan menunjukkan kualitas kepemimpinan yang bisa memberikan inspirasi positif bagi organisasi yang dipimpinnya.
3. Pengukuran (measurement). Pengukuran diperlukan untuk menetapkan beberapa bentuk dasar pengukuran internal dan eksternal bagi perusahaan dan pelanggan.
4. Dukungan sistematis (systematic support). Manajemen bertanggung jawab dalam mengelola proses kualitas dengan cara membangun infrastruktur kualitas yang dikaitkan dengan struktur manajemen internal dan menghubungkan kualitas dengan system manajemen yang ada.
5. Perbaikan berkesinambungan (continual improvement). Kreatifitas dan inovasi dilakukan secara terus-menerus untuk memenuhi selera konsumen
Terdapat lima dimensi pelayanan yang berkualitas, yaitu :
1. Bukti langsung (tangibles), Definisi bukti langsung dalam Rambat Lupiyoadi (2001:148) yaitu "kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensi kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa, yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang, dan lain sebagainya) , perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya". Bukti langsung dalam Fandy Thiptono (1996:70) adalah “bukti fisik dan jasa (misalnya, kartu kredit plastic)”. Sedangkan Philip Kotler (1997:53) mengungkapkan bahwa bukti langsung adalah”fasilitas dan peralatan fisik serta penampilan karyawan yang professional”.
2. Kehandalan dalam Rambat Lupiyoadi (2001:148) adalah "kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama, untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi".Fandy Tjiptono (1996:69( mendefinsikan kehandalan adalah”mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (perpomance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal ini bearti perusahaan memberikan jasanya secara tepat semenjak perusahaan yang bersangkutan memenuhi janjinya, misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakati”. Secara singkat definisi kehandalan dalam Fandy Tjiptono (1997:14) adalah”kemampuan memberikan pleyanan yang dijanjikan dengan segara, akurat dan memuaskan”.
3. Daya tanggap (responsiveness) Menurut Rambat Lupiyoadi (2001:148) daya tanggap adalah "suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan".sedangkan menurut Fandy Tjiptono (1996:70) daya tanggap adalah”keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tangga”
4. Jaminan (assurance), Definisi jaminan dalam Rambat Lupiyoadi (2001:148) yaitu "pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy)".senada dengan pengertian di atas Fandy Tjiptono (1996:70) mendefinisikan jaminan adalah “mencakup pengetahuan,kemampuan,kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dan bahaya, resiko atau keragu-raguan .sedangkan menurut Philip Kotler (1997:53) jaminan adalah pengetahuan dan kesopnan dan karyawan dan kemampuan untuk mendapatkan kepercayaan dan keyakinan”.
5. Empati (empathy). Rambat Lupiyoadi (2001:148) menerangkan empati adalah "memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan". Menurut Fandy Tjiptono (1996:70), empati adalah “ kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan” lebih singkat lagi Philip Kotler (1997:53) mendefinisikan empati adalah tingkat perhatian pribadi terhadap para pelanggan.
2.4 PRINSIP –PRINSIP BANK SYARIAH
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:
1. Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2. Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
3. Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
4. Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
5. Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain;
1) Jasa untuk peminjam dana
a) Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
b) Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
c) Murobahah, yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara bank dan nasabah.
(asuransi islam)
2) Jasa untuk penyimpan dana
a) Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.
b) Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Definisi operasional variabel
terdapat lima dimensi pelayanan yang berkualitas, yaitu : a). bukt langsung (tangibles, b). kehandalan (reliability), c) daya tanggap (responsiveness), d) jaminan (assurance), e. empati (empathy).
Secara lengkap, opresionalisasi variabel kualitas seperti tertera pada table dibawah ini:
Table 1
Operasionalisasi variabel kualitas pelayanan
Variabel | Dimensi | Indikator | Skala |
Kualitas pelayanan | Bukti langsung (tangibles) | Sarana dan prasarana fisik, peralatan, penampilan karyawan | Ordinal |
kehandalan (reliability) | | Ordinal | |
daya tanggap (responsiveness) | | Ordinal | |
jaminan (assurance) | | Ordinal | |
empati (empathy). | | Ordinal |
0 comments:
Post a Comment