0 kedudkan pancasila


Bab I
Pendahuluan
Bagi bangsa Indonesia Pancasila bukanlah sesuatu yang asing, karena pengenalan Pancasila sudah diperkenalkan di bangku sekolah dasar yang dulu kita kenal dengan Pendidikan Moral Pancasila yang pada akhirnya berganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau yang disingkat dengan PPKn. Pancasila itu sendiri terdiri atas 5 (lima) sila yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV dan diperuntukan sebagai dasar begara Republik Indonesia. Dan ke 5 (lima) sila yang dimaksudkan adalah Pancasila sebagai dasar negara.
Kini di era Reformasi, para pengamat politik dan masyarakat awam khususnya memiliki paradigma bahwa Pacasila dianggap sebagai bentuk keinginan untuk kembali ke masa Orde Baru . Paradigma itu sendiri muncul akibat pada masa Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai Legitimasi Ideologis dalam rangka mempertahankan dan memperluas kekuasannya segara masif, dan pada akhirnya Pancasila dijadikan kambing hitam bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru karena Pancasila dianggap ikut dalam masa Orde Baru sehingga Pancasila dipersalahkan dan pantas menanggung beban akibat kesalahan sebuah kekuasan .
Ternyata yang paling menyedihkan, Pancasila dijadikan alat sekelompok yang berkuasa sebagai dasar untuk membuat penguasa tersebut berbuat semena-mena dan Pancasila dijadikan alat untuk memperkokoh kekuasaannya. Padahal dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan berbegara dan didalamnya mengandung makna ideologi nasional sebagai cita – cita dan tujuan negara.
Oleh karena itu, kajian Pancasila pada awal bab ini berpijak dari kedudukan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi negara Republik Indonesia. Dengan Demikian pada bab ini meliputi pengkajian hal – hal sebagai berikut :
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
2. Pandangan Hidup
3. Pancasila Sebagai Ideologi Nasional

Bab II
ISI
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila merupakan dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, dasar negara merupakan tempat bergantung atau dengan kata lain Pancasila adalah sumber dari konstitusi negara. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menjadi sumber norma bagi UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Menurut Prof. Hamid S.Attamimi Pancasila adalah cita Hukum yang menguasai hukum dasar negara baik tertulis maupun tidak tertulis. Operasionalisasi Pancasila sebagai dsar ( filsafat ) negara diwujudkan dengan pembentukan sistem hukum nasional dalam suatu tertib hukum ( legal order ) dimana Pancasila sebagai norma dasarnya.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini merupakan kedudukan yuridis formal oleh karena tertuang dalam ketentuan hukum negara, dalam hal ini UUD 1945 pada Pembukaan Alenia IV. Secara historis pula dinyatakan bahwa Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers) itu dimaksudkan untuk menjadi dasarnya Indonesia merdeka.
Konsekuensi dari rumusan demikian berarti seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintah negara Indonesia termasuk peraturan perundang-undangan merupakan pencerminan dari nilai-nilai Pancasila. Penyelenggaraan bernegara mengacu dan memiliki tolok ukur, yaitu tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan. Oprasionalisasi Pancasila sebagai dasar negara diwujudkan dengan pembentukan sistem hukum nasional dalam suatu tertib hukum (legal order) dimana Pancasila menjadi norma dasarnya.
Pancasila sebagai dasar Negara juga mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan keutuhannya dalam Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu :
 Dimensi Realitasnya,
v dalam arti nilai yang terkandung didalamnya dikonkretisasikan sebagai cerminan objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
v Dimensi idealitasnya, dalam arti idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobjektifkan sebagai sebuah “kata kerja” untuk menggairahkan masyarakat dan terutama para penyelenggara Negara menuju hari esok yang lebih baik.
 Dimensi
v Fleksibilitasnya, dalam arti Pancasila bukan barang yang beku, dogmatis dan sudah selesai. Pancasila terbuka bagi Tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus berubah. Pancasila tanpa kehilangan nilai dasarnya yang hakiki tetap actual, relevan dan fungsional sebagai tiang penyangga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
1. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
2. PANDANGAN HIDUP
Kalimat Bhinneka Tunggal Ika atau yang kita kenal dengan bahasa sansekerta yang mengandung arti, meskipun bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya dan bahasa, tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia itu satu sebagai bangsa. Secara konsepsional, keragaman budaya itu merupakan asset bangsa, oleh karena itu perbedaan tidak harus dipersoalkan, sepanjang perbedaan itu dalam kerangka persatuan. Sehingga sering kali Bhineka Tunggal Ika disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, sehingga setiap pandangan hidup warga bangsa dijamin eksistensinya. Setiap warga negara dijamin oleh Undang-Undang untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Data sejarah bangsa menunjukkan bahwa aspirasi Islam sebagai way of life tak pernah berhenti terlibat dalam pergumulan ideologis, termasuk dalam proses perumusan UUD 45, dan kesemuanya berjalan sangat wajar karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Oleh karena itu tak bisa dipungkiri bahwa di dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya terkandung butir-butir pandangan hidup Islam. Pandangan hidup dapat terungkap jika kita dapat memahami masalah hidup yang pada garis besarnya meliputi tiga permasalahan, yaitu:
(a) pandangan hidup,
(b) Pola Hidup, dan
(c) Etika hidup.





3. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL

Istilah Ideologi pertama kali dipergunakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18, dan pengertiannya kemudian berkembang selama abad 19. oleh de Tracy Ideologi diartikan sebagai ilmu tentang gagasan atau ide-ide. Pada masa itu kelahiran konsep ideologi terkait erat dengan upaya kaum Borjuis membebaskan diri dari kungkungan faham feodal dan beralih ke pemikiran kritis modern. Oposisi politik terhadap tuan tanah aristokrat pada waktu itu dibarengi dengan kritik terhadap ajaran-ajaran pembenar bagi kekuasaan kaum aristokrat.
Ternyata pada akhirnya istilah Ideologi mengalami perluasan makna dan mempunyai lebih dari satu pengertian. Pengertian ideologi menurut Karl Marx misalnya berbeda dengan pengertian menurut Louis Althusser. Menurut Karl Marx, Ideologi adalah pandangan hidup (segala ajaran tentang masyarakat dan negara) yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas tertentu dalam bidang politik atau sosial. Ideologi adalah “bangunan atas” yang didirikan atas basis ekonomi yang menentukan coraknya. Oleh karena itu ideologi sesungguhnya mencerminkan pola ekonomi tertentu. Dalam kontes cara pandang pertentangan antar kelas, maka ideologi dipahami sebagai pandangan hidup yang diciptakan kelas berkuasa untuk merepresi kelas yang dikuasainya. Bagi Louis Althusser, ideologi adalah pandangan hidup dengan mana manusia menjalankan hidupnya.

Sebagai ideologi nasional bangsa indonesia, Pancasila (Oesman, 1992-144) dapat memainkan peran sebagai berikut:
a. Mempersatukan bangsa, memelihara dan mengukuhkan persatuan dan kesatuan itu. Fungsi ini amat penting bagi bangsa indonesia karena sebagai masyarakat majemuk sering terancam perpecahan.
b. Membimbing dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya. Pancasila memberi gambaran cita-cita (dimensi idealisme) bangsa, sekaligus menjadi sumber motivasi dan tekad perjuangan mencapai cita-cita, menggerakkan bangsa melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila.
c. Memberikan tekad untuk memelihara dan mengembangkan identitas bangsa. Pancasila memberikan gambaran identitas bangsa indonesia, sekaligus memberi dorongan untuk Nation and character building berdasarkan Pancasila. Dalam era globalisasi saat ini, fungsi diatas sangat penting.
d. menyoroti kenyataan yang ada dan kritis terhadap upaya perwujudan cita-cita yang terkandung dalam pancasila itu.
Frans Magnis Suseno (1994: 366) menyebutkan bahwa ada dua pengertian ideologi yaitu:
(a) ideologi dalam arti luas.
(b) ideologi dalam arti sempit.
Dalam arti luas ideologi adalah segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti sempit ideologi adalah gagasan atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Menurut Suseno, arti kata ideologi yang luas kurang tepat, sedangkan yang sempit merupakan arti yang tepat atau sebenarnya.
Ideologi dapat menjadi idelogi tertutup apabila gagasan-gagasan yang ada di dalamnya dimutlakan dan bersifat totaliter. Sebaliknya ideologi akan menjadi ideologi terbuka apabila isinya tidak langsung operasional, melainkan selalu memerlukan penafsiran ulang. Setiap generasi baru harus menggali kembali falsafah negara itu dan mencari apa implikasi bagi situasinya sendiri.
Sebagai ideologi nasional Pancasila hakikatnya memuat gagasan tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia mengelola kehidupan kenegaraannya. Rumusan-rumusan dalam Pancasila memang tidak langsung operasional. Oleh karena itu adalah kewajiban bangsa untuk selalu melakukan penafsiran ulang terhadap Pancasila sesuai dengan perkembangan zaman.


















Bab III
Penutup
Kesimpulan
Pancasila merupakan dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, dasar negara menjadi tempat bergantung atau sumber dari konstitusi negara.
Dengan demikian kita yakin bahwa Pancasila adalah satu-satunya sumber dari segala sumber hukum di Negara Indonesia yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945.

Saran
Dalam makalah ini penulis menginginkan agar para pembaca tau bahwa Pancasila adalah dasar negara sehingga para pembaca tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai kambing hitam atas kesalahan para penguasa Orde Baru yang menjadikan Pancasila menjadi cacat hukum.

0 prasangka sosial


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Perkembangan teknologi yang sangat  pesat, khususnya teknologi Di bidang informasi, telah membawa umat manusia ke suatu era yang belum  pernah dialami sebelumnya. Cepatnya harus informasi telah memungkinkan apa  yang terjadi di belahan dunia yang satu dapat segera diketahui, dan hal ini akan mempengaruhi tindakan dan keputusan - keputusan orang dalam berbagai bidang yang berada dibelahan dunia yang lain.  Fenomena dimana dunia semakin   mengecil serta adanya interdependensi yang semakin besar diantara bangsa-bangsa inilah yang sering dinamakan sebagai era globalisasi.
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang sedang giat-giatnya membangun, tentu tidak luput dari pengaruh globalisasi ini. Pengaruh globalisasi terlihat di berbagai aspek pembangunan,baik  pembangunan fisik maupun pembangunan yang bersifat nonfisik, dimana unsur manusia nya lebih besar peranannya. Berbicara mengenai pembangunan tentu tidak terlepas dari sumber daya manusia yang ada. Pembangunan menurut La-Piere, (1981) adalah   merupakan usaha yang secara sistematis  direncanakan dan dilakukan untuk mengubah situasi dan kondisi masyarakat ke taraf yang lebih sempurna. Pengertian di atas mengandung makna bahwa pembangunan, sebenarnya  merupakan perubahan tingkah laku manusia sebagai warga negara yang sedang membangun.
Dalam kaitannya dengan pengertian diatas sumber daya manusia dalam  pembangunan mengandung arti bahwa manusia itu sendiri merupakan instrumen untuk mencapai perubahan yang direncanakan sekaligus menjadi sasaran pembangunan. Dengan demikian manusia sebagai instrumen yang berarti alat,  mengindikasikan bahwa manusia berperan sebagai obyek  dan sasaran pembangunan itu  sendiri. Sebagaimana diuraikan dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara) tahun 1988-1993 secarajelas dinyatakan bahwa manusia Indonesia merupakan subyek  sekaligus obyek dari pembangunan.
Oleh Karenanya sebagai obyek dan subyek pembangunan, manusia memegang  peranan yang sangat penting.
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa dan sedang  berkembang ke era industrialisasi yang diikuti kemajuan yang pesat dibidang informasi dan transportasi, tidak saja memperkecil jarak antar bangsa tetapi juga meningkatkan tukar rnenukar informasi, saling mempengaruhi satu sama  lain. Selain itu interaksi sosial dari berbagai kelompok etnis yang tersebar di berbagai pelosok tanah air yang terdiri dari ribuan pulau juga meningkat. Sebagai konsekuensi antar kelornpok etnis dan semakin banyak organisasi atau  perusahaan ataupun kelompok kerja lainyang beranggotakan orang dari berbagai kelornpok etnis, golongan, agarna, ras dan sukubangsa. (Setiadi, 1993).
Masing-masing suku bangsa yang ada di Indonesia menurut Martaniah, (1984) sudah barang tentu rnemiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Dengan rnengetahui perbedaan - perbedaan tersebut bukan berarti  bertujuan untuk memisah – misahkan mereka atau menonjolkan jurang pemisah di antara suku bangsa yang ada, akan tetapi justru dengan  mengetahui perbedaan-perbedaan tersebut akan dapat dicarikan jalan keluar untuk lebih mempersatukan. Namun demikian tidak dipungkiri dengan adanya perbedaan - perbedaan latar belakang kehidupan suku bangsa tersebut akan dapat memicu terjadinya prasangka sosial. Mar'at, (1982) mengemukakan bahwa suatu bangsa yang memiliki  heterogenitas dari kelompok - kelompok etnis senantiasa rnenimbulkan isu-isu yang menjurus kearah prasangka sosial.
               
  




B.        Rumusan Masalah
1.      Jelaskan pengertian prasangka sosial ?
2.      Jelaskan sebab – sebab timbulnya prasangka  ?
3.      Jelaskan terbentuknya jarak sosial ?
4.      Bagaimana usaha mengurangi prasangka sosial ?
5.      Apa yang dimaksud dengan prasangka, propaganda, desas – desus dan stereotip ?


C.      Tujuan
    1. Mengetahui pengertian prasangka sosial
    2. Mengetahui sebab – sebab timbulnya prasangka 
    3. Mengetahui terbentuknya jarak sosial
    4. Mengetahui usaha mengurangi prasangka sosial
    5. Mengetahui apa yang dimaksud dengan prasangka, propaganda, desas –  
        desus dan stereotip

D.       Manfaat
Makalah ini dibuat dan disusun agar mampu membawa suatu manfaat diantarnya :
1.         Menjadi bahan tambahan untuk perkuliahan mahasiswa dan dosen pengajar.
2.         Sebagai literatur materi khusus psikologi sosial
3.         Bermanfaat bagi pembaca dan memberi pengetahuan para penikmat pendidikan.
4.         Agar bisa menjadi salah satu acuan dalam belajar memahami psikologi sosial  terutama tentang motif sosial.




BAB II
PEMBAHASAN
A. Prasangka Sosial
Di dalam kehidupan sehari-hari, istilah prasangka (prejudice) adalah sikap prasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu, prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan orang lain dan tidak mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain. Prasangka sosial yang pada awalnya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif itu lambat laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang di perasangka itu tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif. Pada pribadi orang yang dikenai tindakan-tindakan diskriminatif. Atau perasangka sosial adalah sebuah sikap terhadap anggota kelompok tertentu, semata-mata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut, prasangka terhadapa kelompok lain bisanya cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama (bisanya negatif) tingkah laku pribadi mereka memainkan peranyang kecil mereka tidak disukai. Hanya karena mereka termasuk dalam kelompok tertentu. Sebaliknya diskriminasi merujuk pada aksi negatif terhadap kelompok yang menjadi sasaran prasangka. Adorno menyatakan bahwa prasangka adalah merupakan salah satu tipe kepribadian. Oleh karena itu, kita tidak dapat menyalahkan suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan timbulnya kerusakan, apalagi kerusakannya hanya sebatas wilayah di mana kekerasan itu terjadi (rasisme misalnya).
Pengertian prasangka sosial menurut beberapa ahli antara lain :
 Menurut Kimball Young menyatakan prasangka adalah mempunyai ciri khas pertentang-an antara kelompok yang ditandai oleh kuatnya im group dan out group.
 Menurut Sherif and Sherif menyatakan prasangka sosial adalah sikap negatif para anggotasuatu kelompok,berasal dari norma mereka anut kepada kelompok lain beserta anggota-nya.
 Menurut Mar’at menyatakan bahwa prasangka sosial adalah dugaan-dugaan yang memi-liki nilai positif atau negatif,tetapi biasanya lebih negatif.
Menurut Brehm dan Kassin memyatakan bahwa prasangka sosial adalah perasaan negatif terhadap seseorang semata berdasarkan keanggotanya dalam kelompok tertentu.
 Menurut Kartono menyatakan bahwa prasangka merupakan pernilaian yang terlalu tegesa-gesa,berdasarkan generalisai yang terlalu cepat,sifatnya berat sebelah,dan disertai dengan tindakan menyenderhanakan kenyataan.
B. Sebab-sebab timbulnya prasangka sosial
Prasangka timbul dari adanya norma sosial, seperti yang terjadi pada anak-anak di amerika serikat prasangka terhadap orang negro terlihat pada tahu-tahun prasekolah anak menyadari bahwa itu telah termasuk dalam kelompoknya yaitu keluarga nya dan meluas kepada bangsanya.
Orang tidak begitu saja berprasangka terhadap orang lain. Tetapi ada faktor tertentu yang menyebabkan ia berprasangka, dan prasangka di sini berkisar pada masalah yang bersifat negatif terhadap orang atau kelompok lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya prasangka.
a) Orang dalam berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam. Dalam berusaha seseorang mengalami kegagalan atau kelemahan, sebab dari kegagalan atau kelemahantidak di caridirinya sendiri tetapi pada orang lain. Orang lain inilah yang dijadikan kambing hitam sebagai sebab kegagalannya.
b) Orang berprasangka karena memang ia sudah di persiapkan didalam lingkungannya atau kelompok untuk berprasangka attitude tidak di bawa oleh manusia sejak dilahirkan, tetapi bermacam-macam attitude itu di pelajari dan di bentuk pada manusia selama perkembangannya, seorang anak kecil tidak mempunyai attitude tetapi ia memprolehnya pertama-tama dari orang tua dan keluarganya yang merupakan kelompok primer baginya yang pertama-tama mendidik atau merupakan lingkungan sosial pertama tampak anak itu berkembang sebagai manusia sosial demikian halnya dengan prasangka sosial yang tidak di bawa sejak lahir tetapi di bentuk selama perkembangannya, baik melalui didikan maupun dengan cara identifikasi dengan orang lain yang sudah berprasangka.
c) Prasangka timbul karena adanya perbedaan, di mana perbedaan ini menumbulkan prasaan superior. Perbedaan disini bisa meliputi.
1.Perbedaan fisik /biologis
2. Perbedaan lingkungan / geografis
3. Perbedaan kekayaan
4.Perbedaan status sosial
5.Perbedaan kepercayaan
d) Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tidak menyenangkan
e) Prasangka timbul karena adanya anggapan yang sudah menjadi pendapat umum atau kebiasaan di dalam lingkungan tertentu. Seperti orang berprasangka pada status ibu tiri.

C. Terbentuknya jarak sosial
Prasangka sosial merupakan gejala psikologi sosial, prasangka sosial ini merupakan masalah yang penting di bahas di dalam intergruop relation, prasangka sosial atau juga prasangka klompok yaitu suatu prasangka yang diperlihatkan anggota-anggota suatu kelompok terhadap kelompok-kelompok lain termasuk para anggotanya satu kelompok menilai kelompok lain dengan norma atau ukuran yang terdapat di dalam klompoknya sendiri.
1.      Dengan adanya penyelidikan yang cukup lama terlihat bahwa sosial distance di hembuskan dari grup yang dominan ssuai dengan status dan sudut pandangannya. Agar grup-grup yang lemah atau gruop minoritas dapat di terima kedalam grup moyoritas mau tidak mau harus mnyesuaikna diri dengan kelompok mayoritas dan ia harus mnerima status yang diberikan.
2.      Adanya rasa superioritas atau keunggulan kelompok atas kelompok yang lain, rasa superioritas bisa bersumber pada agama, geografis rasa, warna kulit dan sebagainya, anggota keolompok di sini menganggap bahwa kelompok lain berada jauh di bawah kelompoknya.
Faktor – Faktor yang dapat menimbulkan prasangka antara lain :
Warna kulit, tingkat hidup, agama dan sebagainya. Pada tahun 1935 dodd di dalam penelitianya menemukan bahwa social distance yang terbesar ada pada kelompok keagamaan.
Timbulnya prasangka dapat diperkuat oleh keadaan politik individu atau kelompok yang diliputi prasangka memiliki sikap serta pandangan yang tidak obyektif dan wajar.
Hal ini tentu saja merupakan perkembangan kepribadianya. Misalnya Orang Amerika terhadap Orang Negro.
D. Usaha mengurangi prasangka sosial
Usah-usaha mengurangi prasangka sosial antara golongan itu kiranya jelas harus di mulai pada didikan, jelasnya bahwa orasangka sosial itu sebenarnya adalah karena salah sangka, miss informasi, miss interprestasi. Oleh karena itu usah untuk mengurangi atau menghilangkan prasangka tetap di jalankan , di kembangkan dan di usahakan perbaikannya. Usaha mengurangi prasangka ini di bedakan atas atas dua usaha .
1.      Usaha preventif: ini berupa usaha jangan sampai orang atau kelompok terkena prasangaka. Menciptakan situasi atau susasana yang tentram, damai, jauh dari rasa permusahan. Melainkan dalam arti lapang dada dalam bergaul dengan sessama manusia meskipun ada perbedaan, perbedaan bukan berarti pertentangan , memperpendek jarak sosial sehingga tidak sempat timbul prasangka. Usaha ini sebaiknya harus di lakukan oleh orang tua pada anak, guru terhadap anak didiknya, masyarkat, media dan sebagainya.
2.      Usaha curatif. Usaha ini menyembuhkan orang yang sudah terkena prasangka, usaha disini berupa usaha menyadarkan. Prasangka adalah hal yang selalu merugikan tidak ada hal yang bersifat positif bagi kehidupan bersama , justru adanya prasangka itu pihak luar/pihak ketiga melahan dapat menarik kuntungan dengan jalan memperalat atau menimbulkan suasana panas dan kacau dari golongan yang diprasangkai demi keuntungan pihak ketiga.




E.     Prasangka, Propaganda, Desas-desus dan Stereotip.
Prasangka
Prasangka Berasal dari kata pra = sebelum; sangka = dugaan, pendapat yang didasarkan atas perasaan hati, syak, kesangsian, keraguan.
Prasangka : anggapan dan pendapat yang kurang menyenangkan atau penilaian negatif yang tidak rasional, yang ditujukan pada individu atau suatu kelompok tertentu (yang menjadi objek prasangka), sebelum mengetahui, menyaksikan, menyelidiki objek-objek prasangka tersebut.
Prasangka juga dapat dikatakan sebagai attitude-attitude sosial negatif, yang ditujukan pada individu atau golongan lain dan hal ini mempengaruhi tingkah laku golongan individu yang berprasangka tersebut.
Prasangka mulanya hanya merupakan sikap-sikap negatif, tapi lama kelamaan akan memunculkan tindakan-tindakan yang menghambat, merugikan bahkan mengancam kehidupan pribadi golongan tertentu’
Kompleks
Kompleks merupakan aspek jiwa yang terjadi di dalam alam bawah sadar seseorang yang mendorongnya bersikap.
Propaganda
Propaganda adalah alat meyakinkan seseorang terhadap suatu pandangan/citacita seseorang. Bermacam-macam propaganda antara lain:
  • Progresif, yaitu mengganti ideologi lama dengan ideologi baru.
  • Reaksioner, yaitu mencegah perkembangan sosial dan timbulnya ideologi baru.
  • Konservatif, yaitu memepertahankan ideologi.
Desas-desus
      Desas –desus adalah suatu gejala sosial psikologis yang menarik perhatian bagi ahli psikologi, karena : 1. desas – desus itu terjadi dimana saja, didalam tiap – tiap masyarakat 2. desas – desus mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat, dan orang dalam masyarakat.
jadi, desas – desus adalah pemberitahuan lisan/tulisan dari orang perorang pada orang lain. Macam-macamnya bisa desas-desus yang merembes, berkoar, dan bertahan.
Stereotip
Stereotip merupakan gambaran atau tanggapan tertentu seseorang terhadap individu/kelompok yang diprasangkai.
Menurut Johnson & Johnson stereotipe  dilestarikan dan  di kukuhkan  dalam empat  cara,:
1. Stereotipe mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tin-dakan orang-orang dari kelompok lain.
2. Stereotipe membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. Individu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal sama.
3. Stereotipe dapat menimbulkan pengkambing hitaman.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
     Di dalam kehidupan sehari-hari, istilah prasangka (prejudice) adalah sikap prasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu, prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan orang lain dan tidak mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain.
Usaha mengurangi prasangka ini di bedakan atas atas dua usaha :
1.      Usaha preventif: ini berupa usaha jangan sampai orang atau kelompok terkena prasangaka.
2.      Usaha curatif. Usaha ini menyembuhkan orang yang sudah terkena prasangka, usaha disini berupa usaha menyadarkan.

B. Saran
Secara umum pendidik, baik guru maupun orang tua dalam mengarahkan belajar anak hendaklah harus lebih memperhatikan masalah yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan psikologis, perkembangan intelegensi, emosional dan motivasi, serta mengembangkan kreativitas anak. Supaya peserta didik lebih mudah dalam memahami semua pelajaran yang ada. Terutama tentang identitas nasional bangsa indonesia yang kita cintai ini.
Semoga apa yang kami sampaikan ini dapat berguna bagi kita semua, apabila ada kesalahan dalam penulisan kami mohon maaf. Kepada Allah saya mohon ampun, saran serta kritikan yang membangun sangat kami harapkan guna penyempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA


Ahmadi Abu, 2007, Psikologi Sosial ,  Rineka Cipta,: Bandung
Gerungan, 2004, psikologi Sosial, Refika Adi Tama: Bandung
(diakses Hari Rabu pada tanggal 22 Nopember 2012 Jam 12.30 WIB )
(diakses Hari Rabu pada tanggal 22 Nopember 2012 Jam 12.45 WIB )












 

kingdom dfc Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates