Bab I
Pendahuluan
Bagi bangsa Indonesia Pancasila bukanlah sesuatu yang asing, karena pengenalan Pancasila sudah diperkenalkan di bangku sekolah dasar yang dulu kita kenal dengan Pendidikan Moral Pancasila yang pada akhirnya berganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau yang disingkat dengan PPKn. Pancasila itu sendiri terdiri atas 5 (lima) sila yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV dan diperuntukan sebagai dasar begara Republik Indonesia. Dan ke 5 (lima) sila yang dimaksudkan adalah Pancasila sebagai dasar negara.
Kini di era Reformasi, para pengamat politik dan masyarakat awam khususnya memiliki paradigma bahwa Pacasila dianggap sebagai bentuk keinginan untuk kembali ke masa Orde Baru . Paradigma itu sendiri muncul akibat pada masa Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai Legitimasi Ideologis dalam rangka mempertahankan dan memperluas kekuasannya segara masif, dan pada akhirnya Pancasila dijadikan kambing hitam bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru karena Pancasila dianggap ikut dalam masa Orde Baru sehingga Pancasila dipersalahkan dan pantas menanggung beban akibat kesalahan sebuah kekuasan .
Ternyata yang paling menyedihkan, Pancasila dijadikan alat sekelompok yang berkuasa sebagai dasar untuk membuat penguasa tersebut berbuat semena-mena dan Pancasila dijadikan alat untuk memperkokoh kekuasaannya. Padahal dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan berbegara dan didalamnya mengandung makna ideologi nasional sebagai cita – cita dan tujuan negara.
Oleh karena itu, kajian Pancasila pada awal bab ini berpijak dari kedudukan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi negara Republik Indonesia. Dengan Demikian pada bab ini meliputi pengkajian hal – hal sebagai berikut :
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
2. Pandangan Hidup
3. Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
Bab II
ISI
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila merupakan dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, dasar negara merupakan tempat bergantung atau dengan kata lain Pancasila adalah sumber dari konstitusi negara. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menjadi sumber norma bagi UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Menurut Prof. Hamid S.Attamimi Pancasila adalah cita Hukum yang menguasai hukum dasar negara baik tertulis maupun tidak tertulis. Operasionalisasi Pancasila sebagai dsar ( filsafat ) negara diwujudkan dengan pembentukan sistem hukum nasional dalam suatu tertib hukum ( legal order ) dimana Pancasila sebagai norma dasarnya.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini merupakan kedudukan yuridis formal oleh karena tertuang dalam ketentuan hukum negara, dalam hal ini UUD 1945 pada Pembukaan Alenia IV. Secara historis pula dinyatakan bahwa Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers) itu dimaksudkan untuk menjadi dasarnya Indonesia merdeka.
Konsekuensi dari rumusan demikian berarti seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintah negara Indonesia termasuk peraturan perundang-undangan merupakan pencerminan dari nilai-nilai Pancasila. Penyelenggaraan bernegara mengacu dan memiliki tolok ukur, yaitu tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan. Oprasionalisasi Pancasila sebagai dasar negara diwujudkan dengan pembentukan sistem hukum nasional dalam suatu tertib hukum (legal order) dimana Pancasila menjadi norma dasarnya.
Pancasila sebagai dasar Negara juga mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan keutuhannya dalam Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu :
Dimensi Realitasnya,v dalam arti nilai yang terkandung didalamnya dikonkretisasikan sebagai cerminan objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
v Dimensi idealitasnya, dalam arti idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobjektifkan sebagai sebuah “kata kerja” untuk menggairahkan masyarakat dan terutama para penyelenggara Negara menuju hari esok yang lebih baik.
Dimensiv Fleksibilitasnya, dalam arti Pancasila bukan barang yang beku, dogmatis dan sudah selesai. Pancasila terbuka bagi Tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus berubah. Pancasila tanpa kehilangan nilai dasarnya yang hakiki tetap actual, relevan dan fungsional sebagai tiang penyangga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
1. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
2. PANDANGAN HIDUP
Kalimat Bhinneka Tunggal Ika atau yang kita kenal dengan bahasa sansekerta yang mengandung arti, meskipun bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya dan bahasa, tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia itu satu sebagai bangsa. Secara konsepsional, keragaman budaya itu merupakan asset bangsa, oleh karena itu perbedaan tidak harus dipersoalkan, sepanjang perbedaan itu dalam kerangka persatuan. Sehingga sering kali Bhineka Tunggal Ika disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, sehingga setiap pandangan hidup warga bangsa dijamin eksistensinya. Setiap warga negara dijamin oleh Undang-Undang untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Data sejarah bangsa menunjukkan bahwa aspirasi Islam sebagai way of life tak pernah berhenti terlibat dalam pergumulan ideologis, termasuk dalam proses perumusan UUD 45, dan kesemuanya berjalan sangat wajar karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Oleh karena itu tak bisa dipungkiri bahwa di dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya terkandung butir-butir pandangan hidup Islam. Pandangan hidup dapat terungkap jika kita dapat memahami masalah hidup yang pada garis besarnya meliputi tiga permasalahan, yaitu:
(a) pandangan hidup,
(b) Pola Hidup, dan
(c) Etika hidup.
3. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
Istilah Ideologi pertama kali dipergunakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18, dan pengertiannya kemudian berkembang selama abad 19. oleh de Tracy Ideologi diartikan sebagai ilmu tentang gagasan atau ide-ide. Pada masa itu kelahiran konsep ideologi terkait erat dengan upaya kaum Borjuis membebaskan diri dari kungkungan faham feodal dan beralih ke pemikiran kritis modern. Oposisi politik terhadap tuan tanah aristokrat pada waktu itu dibarengi dengan kritik terhadap ajaran-ajaran pembenar bagi kekuasaan kaum aristokrat.
Ternyata pada akhirnya istilah Ideologi mengalami perluasan makna dan mempunyai lebih dari satu pengertian. Pengertian ideologi menurut Karl Marx misalnya berbeda dengan pengertian menurut Louis Althusser. Menurut Karl Marx, Ideologi adalah pandangan hidup (segala ajaran tentang masyarakat dan negara) yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas tertentu dalam bidang politik atau sosial. Ideologi adalah “bangunan atas” yang didirikan atas basis ekonomi yang menentukan coraknya. Oleh karena itu ideologi sesungguhnya mencerminkan pola ekonomi tertentu. Dalam kontes cara pandang pertentangan antar kelas, maka ideologi dipahami sebagai pandangan hidup yang diciptakan kelas berkuasa untuk merepresi kelas yang dikuasainya. Bagi Louis Althusser, ideologi adalah pandangan hidup dengan mana manusia menjalankan hidupnya.
Sebagai ideologi nasional bangsa indonesia, Pancasila (Oesman, 1992-144) dapat memainkan peran sebagai berikut:
a. Mempersatukan bangsa, memelihara dan mengukuhkan persatuan dan kesatuan itu. Fungsi ini amat penting bagi bangsa indonesia karena sebagai masyarakat majemuk sering terancam perpecahan.
b. Membimbing dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya. Pancasila memberi gambaran cita-cita (dimensi idealisme) bangsa, sekaligus menjadi sumber motivasi dan tekad perjuangan mencapai cita-cita, menggerakkan bangsa melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila.
c. Memberikan tekad untuk memelihara dan mengembangkan identitas bangsa. Pancasila memberikan gambaran identitas bangsa indonesia, sekaligus memberi dorongan untuk Nation and character building berdasarkan Pancasila. Dalam era globalisasi saat ini, fungsi diatas sangat penting.
d. menyoroti kenyataan yang ada dan kritis terhadap upaya perwujudan cita-cita yang terkandung dalam pancasila itu.
Frans Magnis Suseno (1994: 366) menyebutkan bahwa ada dua pengertian ideologi yaitu:
(a) ideologi dalam arti luas.
(b) ideologi dalam arti sempit.
Dalam arti luas ideologi adalah segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti sempit ideologi adalah gagasan atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Menurut Suseno, arti kata ideologi yang luas kurang tepat, sedangkan yang sempit merupakan arti yang tepat atau sebenarnya.
Ideologi dapat menjadi idelogi tertutup apabila gagasan-gagasan yang ada di dalamnya dimutlakan dan bersifat totaliter. Sebaliknya ideologi akan menjadi ideologi terbuka apabila isinya tidak langsung operasional, melainkan selalu memerlukan penafsiran ulang. Setiap generasi baru harus menggali kembali falsafah negara itu dan mencari apa implikasi bagi situasinya sendiri.
Sebagai ideologi nasional Pancasila hakikatnya memuat gagasan tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia mengelola kehidupan kenegaraannya. Rumusan-rumusan dalam Pancasila memang tidak langsung operasional. Oleh karena itu adalah kewajiban bangsa untuk selalu melakukan penafsiran ulang terhadap Pancasila sesuai dengan perkembangan zaman.
Pendahuluan
Bagi bangsa Indonesia Pancasila bukanlah sesuatu yang asing, karena pengenalan Pancasila sudah diperkenalkan di bangku sekolah dasar yang dulu kita kenal dengan Pendidikan Moral Pancasila yang pada akhirnya berganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau yang disingkat dengan PPKn. Pancasila itu sendiri terdiri atas 5 (lima) sila yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV dan diperuntukan sebagai dasar begara Republik Indonesia. Dan ke 5 (lima) sila yang dimaksudkan adalah Pancasila sebagai dasar negara.
Kini di era Reformasi, para pengamat politik dan masyarakat awam khususnya memiliki paradigma bahwa Pacasila dianggap sebagai bentuk keinginan untuk kembali ke masa Orde Baru . Paradigma itu sendiri muncul akibat pada masa Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai Legitimasi Ideologis dalam rangka mempertahankan dan memperluas kekuasannya segara masif, dan pada akhirnya Pancasila dijadikan kambing hitam bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru karena Pancasila dianggap ikut dalam masa Orde Baru sehingga Pancasila dipersalahkan dan pantas menanggung beban akibat kesalahan sebuah kekuasan .
Ternyata yang paling menyedihkan, Pancasila dijadikan alat sekelompok yang berkuasa sebagai dasar untuk membuat penguasa tersebut berbuat semena-mena dan Pancasila dijadikan alat untuk memperkokoh kekuasaannya. Padahal dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan berbegara dan didalamnya mengandung makna ideologi nasional sebagai cita – cita dan tujuan negara.
Oleh karena itu, kajian Pancasila pada awal bab ini berpijak dari kedudukan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi negara Republik Indonesia. Dengan Demikian pada bab ini meliputi pengkajian hal – hal sebagai berikut :
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
2. Pandangan Hidup
3. Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
Bab II
ISI
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila merupakan dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, dasar negara merupakan tempat bergantung atau dengan kata lain Pancasila adalah sumber dari konstitusi negara. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menjadi sumber norma bagi UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Menurut Prof. Hamid S.Attamimi Pancasila adalah cita Hukum yang menguasai hukum dasar negara baik tertulis maupun tidak tertulis. Operasionalisasi Pancasila sebagai dsar ( filsafat ) negara diwujudkan dengan pembentukan sistem hukum nasional dalam suatu tertib hukum ( legal order ) dimana Pancasila sebagai norma dasarnya.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini merupakan kedudukan yuridis formal oleh karena tertuang dalam ketentuan hukum negara, dalam hal ini UUD 1945 pada Pembukaan Alenia IV. Secara historis pula dinyatakan bahwa Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers) itu dimaksudkan untuk menjadi dasarnya Indonesia merdeka.
Konsekuensi dari rumusan demikian berarti seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintah negara Indonesia termasuk peraturan perundang-undangan merupakan pencerminan dari nilai-nilai Pancasila. Penyelenggaraan bernegara mengacu dan memiliki tolok ukur, yaitu tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan. Oprasionalisasi Pancasila sebagai dasar negara diwujudkan dengan pembentukan sistem hukum nasional dalam suatu tertib hukum (legal order) dimana Pancasila menjadi norma dasarnya.
Pancasila sebagai dasar Negara juga mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan keutuhannya dalam Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu :
Dimensi Realitasnya,v dalam arti nilai yang terkandung didalamnya dikonkretisasikan sebagai cerminan objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
v Dimensi idealitasnya, dalam arti idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobjektifkan sebagai sebuah “kata kerja” untuk menggairahkan masyarakat dan terutama para penyelenggara Negara menuju hari esok yang lebih baik.
Dimensiv Fleksibilitasnya, dalam arti Pancasila bukan barang yang beku, dogmatis dan sudah selesai. Pancasila terbuka bagi Tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus berubah. Pancasila tanpa kehilangan nilai dasarnya yang hakiki tetap actual, relevan dan fungsional sebagai tiang penyangga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
1. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
2. PANDANGAN HIDUP
Kalimat Bhinneka Tunggal Ika atau yang kita kenal dengan bahasa sansekerta yang mengandung arti, meskipun bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya dan bahasa, tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia itu satu sebagai bangsa. Secara konsepsional, keragaman budaya itu merupakan asset bangsa, oleh karena itu perbedaan tidak harus dipersoalkan, sepanjang perbedaan itu dalam kerangka persatuan. Sehingga sering kali Bhineka Tunggal Ika disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, sehingga setiap pandangan hidup warga bangsa dijamin eksistensinya. Setiap warga negara dijamin oleh Undang-Undang untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Data sejarah bangsa menunjukkan bahwa aspirasi Islam sebagai way of life tak pernah berhenti terlibat dalam pergumulan ideologis, termasuk dalam proses perumusan UUD 45, dan kesemuanya berjalan sangat wajar karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Oleh karena itu tak bisa dipungkiri bahwa di dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya terkandung butir-butir pandangan hidup Islam. Pandangan hidup dapat terungkap jika kita dapat memahami masalah hidup yang pada garis besarnya meliputi tiga permasalahan, yaitu:
(a) pandangan hidup,
(b) Pola Hidup, dan
(c) Etika hidup.
3. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
Istilah Ideologi pertama kali dipergunakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18, dan pengertiannya kemudian berkembang selama abad 19. oleh de Tracy Ideologi diartikan sebagai ilmu tentang gagasan atau ide-ide. Pada masa itu kelahiran konsep ideologi terkait erat dengan upaya kaum Borjuis membebaskan diri dari kungkungan faham feodal dan beralih ke pemikiran kritis modern. Oposisi politik terhadap tuan tanah aristokrat pada waktu itu dibarengi dengan kritik terhadap ajaran-ajaran pembenar bagi kekuasaan kaum aristokrat.
Ternyata pada akhirnya istilah Ideologi mengalami perluasan makna dan mempunyai lebih dari satu pengertian. Pengertian ideologi menurut Karl Marx misalnya berbeda dengan pengertian menurut Louis Althusser. Menurut Karl Marx, Ideologi adalah pandangan hidup (segala ajaran tentang masyarakat dan negara) yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas tertentu dalam bidang politik atau sosial. Ideologi adalah “bangunan atas” yang didirikan atas basis ekonomi yang menentukan coraknya. Oleh karena itu ideologi sesungguhnya mencerminkan pola ekonomi tertentu. Dalam kontes cara pandang pertentangan antar kelas, maka ideologi dipahami sebagai pandangan hidup yang diciptakan kelas berkuasa untuk merepresi kelas yang dikuasainya. Bagi Louis Althusser, ideologi adalah pandangan hidup dengan mana manusia menjalankan hidupnya.
Sebagai ideologi nasional bangsa indonesia, Pancasila (Oesman, 1992-144) dapat memainkan peran sebagai berikut:
a. Mempersatukan bangsa, memelihara dan mengukuhkan persatuan dan kesatuan itu. Fungsi ini amat penting bagi bangsa indonesia karena sebagai masyarakat majemuk sering terancam perpecahan.
b. Membimbing dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya. Pancasila memberi gambaran cita-cita (dimensi idealisme) bangsa, sekaligus menjadi sumber motivasi dan tekad perjuangan mencapai cita-cita, menggerakkan bangsa melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila.
c. Memberikan tekad untuk memelihara dan mengembangkan identitas bangsa. Pancasila memberikan gambaran identitas bangsa indonesia, sekaligus memberi dorongan untuk Nation and character building berdasarkan Pancasila. Dalam era globalisasi saat ini, fungsi diatas sangat penting.
d. menyoroti kenyataan yang ada dan kritis terhadap upaya perwujudan cita-cita yang terkandung dalam pancasila itu.
Frans Magnis Suseno (1994: 366) menyebutkan bahwa ada dua pengertian ideologi yaitu:
(a) ideologi dalam arti luas.
(b) ideologi dalam arti sempit.
Dalam arti luas ideologi adalah segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti sempit ideologi adalah gagasan atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Menurut Suseno, arti kata ideologi yang luas kurang tepat, sedangkan yang sempit merupakan arti yang tepat atau sebenarnya.
Ideologi dapat menjadi idelogi tertutup apabila gagasan-gagasan yang ada di dalamnya dimutlakan dan bersifat totaliter. Sebaliknya ideologi akan menjadi ideologi terbuka apabila isinya tidak langsung operasional, melainkan selalu memerlukan penafsiran ulang. Setiap generasi baru harus menggali kembali falsafah negara itu dan mencari apa implikasi bagi situasinya sendiri.
Sebagai ideologi nasional Pancasila hakikatnya memuat gagasan tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia mengelola kehidupan kenegaraannya. Rumusan-rumusan dalam Pancasila memang tidak langsung operasional. Oleh karena itu adalah kewajiban bangsa untuk selalu melakukan penafsiran ulang terhadap Pancasila sesuai dengan perkembangan zaman.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Pancasila merupakan dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, dasar negara menjadi tempat bergantung atau sumber dari konstitusi negara.
Dengan demikian kita yakin bahwa Pancasila adalah satu-satunya sumber dari segala sumber hukum di Negara Indonesia yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945.
Saran
Dalam makalah ini penulis menginginkan agar para pembaca tau bahwa Pancasila adalah dasar negara sehingga para pembaca tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai kambing hitam atas kesalahan para penguasa Orde Baru yang menjadikan Pancasila menjadi cacat hukum.
0 comments:
Post a Comment